Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI IDI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Idi SYAHRUL AG BIN ABDUL GANI Kepala Kepolisain Resort Aceh Timur. Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 10 Des. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Idi
Tanggal Surat Selasa, 10 Des. 2019
Nomor Surat 01-PRA/12/ALC/2019
Pemohon
NoNama
1SYAHRUL AG BIN ABDUL GANI
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisain Resort Aceh Timur.
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

PERMOHONAN PEMOHON PRAPERADILAN

 ATAS NAMA :

SYAHRUL AG BIN ABDUL GANI

Terhadap

Penetapan sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Narkotika, sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) ,  Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI  No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

oleh Satnarkoba Polres Aceh Timur .

 MELAWAN

Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Cq. Kepala Kepolisian Resort Aceh Timur

 Sebagai TERMOHON

Oleh :

Advokat dan Konsultan Hukum

MUSLIM A GANI, SH  dan DIAN YULIANI

DI - PENGADILAN NEGERI  IDI

 

Tanggal . 9 Desember 2019

 

                            Kepada

     Yth.    Ketua  Pengadilan Negeri Idi

                            Jalan.  Petua Husein No. 4 Kp. Jawa Idi Rayeuk

                  Di 

                            I D I

 

                 Hal  :   PERMOHONAN PRAPERADILAN  A/N . SYAHRUL  AG BIN A GANI.,

 

Dengan Hormat ;

Perkenankanlah kami : MUSLIM A GANI, SH dan DIAN YULIANI ,SH.,. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor “ Lawfirm Acheh Legal Counsult “ Advocate & Legal Consultant yang beralamat di Jalan TM. Bahroem Perum Pondok Hijau No. 2a Langsa (aceh)., Email : mm6658527@gmail.com

 

 

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal  5 Desember  2019, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama  SYAHRUL AG BIN A GANI----- selanjutnya disebut sebagai   PEMOHON
             M E L A W A N______
Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala  Kepolisian Daerah Aceh Cq. Kepala Kepolisian Resort  Aceh Timur yang beralamat di Paya Bili I, Peudawa, Kabupaten Aceh Timur, Aceh 24454 --------selanjutnya  disebut sebagai -----------------------------TERMOHON ----------------------------
untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Narkotik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 112 ayat (2) UU Narkotik  oleh Polres Aceh Timur Satnarkoba ;.

Adapun dasar dan alasan - alasan diajukannya Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut :

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan yang dilakukan dengan melanggar Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP  banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan Penyidikan dan Penuntutan. Disamping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide ; Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka

 

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

4.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

5.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

  1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/ 2012/ Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
  2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/ 2015/ PN. Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/ Pid.Prap/ 2015/ Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
  4. Dan lain sebagainya

 

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat  final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

2.  Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

3.“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),

4.  Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan  pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang, persamaan dihadapan hukum (Equality before the law), dimana setiap orang harus tunduk pada hukum dan peradilan yang sama . Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan  bukti permulaan yang cukup itu.

5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon ditangkap dan ditahan pada hari rabu tanggal 23 Oktober 2019, melalui Surat Perintah Penangkapan Nomor; SP. Kap/ 88/X /Res. 4.2/ 2019/Resnarkoba dan oleh Termohon melakukan Pemeriksaan sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan dilakukan penahanan, selanjutnya pada tanggal 25 Oktober 2019 oleh Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penahanan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor; SP.Han/86/X/Res.4.2/2019/Resnarkoba, kemudian Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka  dan selama pemeriksaan Pemohon tidak didampingi penasihat hukum, hal ini membuktikan Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Pemohon langsung ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat setelah Penangkapan yakni pada tanggal  23 Oktober  2019.

6.  Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Cq. Kepala Kepolisian Resort Aceh Timur .

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka dan Pemohon tanpa didampingi Penasihat hukum merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

  1. Bahwa Penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor ; SP.Han/86/X/Res.4.2/2019/Resnarkoba tertanggal 25 Oktober 2019. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada  penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tidak cukup dengan satu barang bukti tanpa didukung oleh alat bukti lain yang sah, sedangkan bukti SMS tertanggal 24 Oktober 2019, adalah alat bukti yang tidak sah dikarenakan Handphone Pemohon sudah berada ditangan penyidik;

2.  Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

3.  Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

4.  Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

  1. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN
  1. Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 25 Oktober 2019, pada tanggal 23 Oktober 2019 Pemohon  ditangkap dan masih dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya melalui Surat  Perintah Penahanan No. SP.Kap /88/X/ Res.4.2/2019/ Resnarkoba  yang diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tanpa dilakukan pengembangan penyidikan, Termohon pada tanggal 25 Oktober 2019 menerbitkan Surat Perintah Penahanan sebagai Tersangka kepada Pemohon dengan Nomor  SP.Han/86/X/Res.4.2/2019/Resnarkoba. Kemudian  berkas perkara dikembalikan dari Kejaksaan Negeri Idi (P-19) , Pemohon masih terus melakukan penyidikan dari tindak pidana narkotika yang diduga kuat akibat rekayasa dan penjebakan sebagaimana alat bukti yang dimiliki Pemohon .

 

  1. Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik yang mengumpulkan keterangan, dan anehnya keterangan juga diminta dari abang kandungnya Muslim A Gani, SH, berdasarkan Surat Panggilan Nomor ; S.Pgl/06/XII/Res,4.2/ 2019/Resnarkba yang juga Kuasa Hukum Pemohon sejak tanggal 25 Oktober 2019 (terlampir)  , demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian“PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

 

  1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA .

 

  1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Narkotika, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2)  dan Pasal 112 ayat (2) Undang - Undang RI. No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika oleh Polres Idi  Resnarkoba  kepada Pemohon.  Berdasarkan  barang bukti sabu yang sengaja dimasukkan oleh seseorang kedalam kantong jacket milik Pemohon yang diletakkan dibelakang tempat duduk sopir dan sabu yang di lakban dibawah tempat duduk sopir bahagian depan .

 

  1. Bahwa terhadap jenis sabu tersebut adalah dipastikan hasil rekayasa / penjebakan yang dilakukan oleh lawan Politik Pemohon yang dilakukan secara masif, hal ini dipekuat dengan bukti SMS tanggal 24 Oktober 2019, yang bunyinya sbb ;

         “ Pak Syahrul apakah sudah pulang kantor “barangnya sudah laku “

SMS ini sengaja dikirim oleh seseorang ketika Handphone (HP) sudah berada ditangan penyidik kepolisian,  dan Pemohon sudah dilakukan pengetesan dan resmi dinyatakan Negative .

  1. Bahwa barang jenis Sabu bekas pakai yang ada didalam jacket Pemohon sengaja dimasukkan ke kantong menunjukkan seolah olah Pemohon adalah pemakai , akan tetapi faktanya Pemohon tidak pernah menggunakan narkoba jenis apapun,  baik sebelum menjadi anggota DPRK maupun setelah menjadi anggota DPRK, dan dari hasil pemeriksaan Pemohon dinyatakan (negative), sedangkan yang mengarahkan Pemohon kepada pengedar sabu yang ditemukan dibawah tempat duduk sopir bahagian depan  yang dilakban, patut dipertanyakan lakban darimana dan sabu dari mana, sedangkan mobil yang dipakai Pemohon adalah mobil baru belum ada yang perlu di lakban, dan sabu itu baru diketahui oleh Pemohon setelah digeledah dan diambil sendiri oleh Penyidik dan diperlihatkan kepada Pemohon ;

 

  1. Bahwa kami mohon kepada pihak Kepolisian Satnarkoba  Polres Aceh Timur mengambil sidik jari (Fingerprint), untuk membuktikan kepemilikan sabu yang diambil oleh penyidik kepolisian dibawah tempat duduk sopir bahagian depan sekaligus bisa mengungkap data seseorang dengan cepat tentang kepemilikan narkotika jenis sabu  dalam kasus seperti ini .

 

  1. Bahwa kami mohon kepada pihak Kepolisian Satnarkoba Polres Aceh Timur, untuk mengambil Call Data Record milik SYAHRUL AG, terkait dengan barang haram tersebut, baik setelah Pemohon dilantik menjadi Anggota DPRK Aceh - Timur,  maupun beberapa tahun sebelum Pemohon menjadi Anggota DPRK Aceh Timur sehingga bisa diketahui apakah Pemohon mempunyai catatan baik sebagai pemakai dan atau pngedar .

 

  1. Bahwa Pemohon juga merasa heran atas sikap Termohon dimana Pemohon yang secara terbuka telah menyampaikan kepada media cetak tentang asal usul Sabu, (Vide. Serambi 19/10), dan atas kesediaan aparat kepolisian Polsek Sungai Raya memberi keterangan tentang rencana penjebakan dan asal usul sabu, bahkan oknum yang dicurigai kepemilikan sabu an. Said Mansyur sekaligus merencanakan penjebakan terhadap Pemohon, dan juga meminta  Pemohon ditangkap dan ditahan meskipun 1 (satu) hari , namun hal tersebut tidak di respon oleh Termohon .

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui melalui pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Negeri Idi , pengembalian berkas perkara (P-19), dimana menurutnya masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil.

 

  1. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

 

  1. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana narkotika , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI. No.35 tahun 2009 tentang narkotika  oleh Polres  Aceh timur Satresnarkoba kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan Negeri Idi .

Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI  TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN  KESEWENANG - WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS  KEPASTIAN  HUKUM
  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terjawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian mengeyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

 

  1. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

 

  1. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.

 

  1. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang - wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

 

  1. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
    • ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
    • dibuat sesuai prosedur; dan
    • substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

  1. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“ Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”

  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan;
  1. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, maka sudah seharusnya menurut hukum Pemohon memohon agar Pengadilan Negeri Idi  berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut :

  1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dugaan tindak pidana narkotika , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,  tidak adanya kepastian hukum oleh Termohon adalah TIDAK SAH dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari dalam tahanan ;
  6. Menyatakan perbuatan Termohon menetapkan Pemohon selaku Tersangka tanpa prosedur adalah cacat yuridis / bertentangan dengan hukum, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 1.000,000,- (satu juta rupiah)
  7. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  8. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Atau Apabila Hakim Pengadilan Negeri Idi yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya